Jalumaya.blogspot.com -Sudah bertahun-tahun kegiatan ronda malam di lingkungan tempat tinggalku
berjalan dengan baik. Setiap malam ada satu grup terdiri dari tiga
orang. Sebagai anak belia yang sudah bekerja aku dapat giliran ronda
pada malam minggu.
Pada suatu malam minggu aku giliran ronda. Tetapi sampai pukul 23.00 dua
orang temanku tidak muncul di pos perondaan. Aku tidak peduli mau
datang apa tidak, karena aku maklum tugas ronda adalah sukarela,
sehingga tidak baik untuk dipaksa-paksa. Biarlah aku ronda sendiri tidak
ada masalah.
Karena memang belum mengantuk, aku jalan-jalan mengontrol kampung.
Biasanya kami mengelilingi rumah-rumah penduduk. Pada waktu sampai di
samping rumah Pak Tadi, aku melihat kaca nako yang belum tertutup. Aku
mendekati untuk melihat apakah kaca nako itu kelupaan ditutup atau ada
orang jahat yang membukanya. Dengan hati-hati kudekati, tetapi ternyata
kain korden tertutup rapi.
Kupikir kemarin sore pasti lupa menutup kaca nako, tetapi langsung
menutup kain kordennya saja. Mendadak aku mendengar suara aneh, seperti
desahan seseorang. Kupasang telinga baik-baik, ternyata suara itu datang
dari dalam kamar. Kudekati pelan-pelan, dan darahku berdesir, ketika
ternyata itu suara orang bersetubuh. Nampaknya ini kamar tidur Pak Tadi
dan istrinya.
Aku lebih mendekat lagi, suaranya dengusan nafas yang memburu dan
gemerisik dan goyangan tempat tidur lebih jelas terdengar. “Ssshh…
hhemm… uughh… ugghh, terdengar suara dengusan dan suara orang seperti
menahan sesuatu. Jelas itu suara Bu Tadi yang ditindih suaminya.
Terdengar pula bunyi kecepak-kecepok, nampaknya penis Pak Tadi sedang
mengocok liang vagina Bu Tadi.
Aduuh, darahku naik ke kepala, penisku sudah berdiri keras seperti kayu.
Aku betul-betul iri membayangkan Pak Tadi menggumuli istrinya. Alangkah
nikmatnya menyetubuhi Bu Tadi yang cantik dan bahenol itu.
“Oohh, sshh buuu, aku mau keluar, sshh…. ssshh..” terdengar suara Pak
Tadi tersengal-sengal. Suara kecepak-kecepok makin cepat, dan kemudian
berhenti. Nampaknya Pak Tadi sudah ejakulasi dan pasti penisnya
dibenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi. Selesailah sudah
persetubuhan itu, aku pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan kepala
berdenyut-denyut dan penis yang kemeng karena tegang dari tadi.
Sejak malam itu, aku jadi sering mengendap-endap mengintip kegiatan
suami-istri itu di tempat tidurnya. Walaupun nako tidak terbuka lagi,
namun suaranya masih jelas terdengar dari sela-sela kaca nako yang tidak
rapat benar. Aku jadi seperti detektip partikelir yang mengamati
kegiatan mereka di sore hari.
Biasanya pukul 21.00 mereka masih melihat siaran TV, dan sesudah itu
mereka mematikan lampu dan masuk ke kamar tidurnya. Aku mulai melihat
situasi apakah aman untuk mengintip mereka. Apabila aman, aku akan
mendekati kamar mereka. Kadang-kadang mereka hanya bercakap-cakap
sebentar, terdengar bunyi gemerisik (barangkali memasang selimut), lalu
sepi. Pasti mereka terus tidur.
Tetapi apabila mereka masuk kamar, bercakap-cakap, terdengar
ketawa-ketawa kecil mereka, jeritan lirih Bu Tadi yang kegelian
(barangkali dia digelitik, dicubit atau diremas buah dadanya oleh Pak
Tadi), dapat dipastikan akan diteruskan dengan persetubuhan. Dan aku
pasti mendengarkan sampai selesai. Rasanya seperti kecanduan dengan
suara-suara Pak Tadi dan khususnya suara Bu Tadi yang keenakan
disetubuhi suaminya.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Apabila aku bertemu Bu
Tadi juga biasa-biasa saja, namun tidak dapat dipungkiri, aku jadi jatuh
cinta sama istri Pak Tadi itu. Orangnya memang cantik, dan badannya
padat berisi sesuai dengan seleraku. Khususnya pantat dan buah dadanya
yang besar dan bagus.
Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan mungkin, karena Bu tadi istri
orang. Kalau aku berani menggoda Bu Tadi pasti jadi masalah besar di
kampungku. Bisa-bisa aku dipukuli atau diusir dari kampungku. Tetapi
nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata aku akhirnya dapat menikmati
keindahan tubuh Bu Tadi.
Pada suatu hari aku mendengar Pak Tadi opname di rumah sakit, katanya
operasi usus buntu. Sebagai tetangga dan masih bujangan aku banyak waktu
untuk menengoknya di rumah sakit. Dan yang penting aku mencoba
membangun hubungan yang lebih akrab dengan Bu Tadi.
Pada suatu sore, aku menengok di rumah sakit bersamaan dengan adiknya
Pak Tadi. Sore itu, mereka sepakat Bu Tadi akan digantikan adiknya
menunggu di rumah sakit, karena Bu Tadi sudah beberapa hari tidak
pulang. Aku menawarkan diri untuk pulang bersamaku. Mereka setuju saja
dan malah berterima kasih. Terus terang kami sudah menjalin hubungan
lebih akrab dengan keluarga itu.
Sehabis mahgrib aku bersama Bu Tadi pulang. Dalam mobilku kami mulai
mengobrol, mengenai sakitnya Pak Tadi. Katanya seminggu lagi sudah boleh
pulang. Aku mulai mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi, atau
katakanlah lebih kurang ajar. Inikan kesempatan bagus sekali untuk
mendekatai Bu Tadi.
“Bu, maaf yaa. ngomong-ngomong Bu Tadi sudah berkeluarga sekitar 3 tahun kok belum diberi momongan yaa”, kataku hati-hati.
“Ya, itulah Dik Budi. Kami kan hanya lakoni. Barangkali Tuhan belum mengizinkan”, jawab Bu Tadi.
“Tapi anu tho bu… anuu.. bikinnya khan jalan terus.” godaku.
“Ooh apa, ooh. kalau itu sih iiiya Dik Budi” jawab Bu Tadi agak kikuk.
Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap minggunya minmal 2 kali
bersetubuh dan terbayang kembali desahan Bu Tadi yang keenakan. Darahku
semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.
“Tapi, kok belum berhasil juga yaa bu?” lanjutku.
“Ya, itulah, kami berusaha terus. Tapi ngomong-ngomong kapan Dik Budi
kimpoi. Sudah kerja, sudah punya mobil, cakep lagi. Cepetan dong. Nanti
keburu tua lhoo”, kata Bu Tadi.
“Eeh, benar nih Bu Tadi. Aku cakep niih. Ah kebetulan, tolong carikan
aku Bu. Tolong carikan yang kayak Ibu Tadi ini lhoo”, kataku
menggodanya.
“Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, jelek lagi”, katanya sambil ketawa.
Aku harus dapat memanfaatkan situasi. Harus, Bu tadi harus aku dapatkan.
“Eeh, Bu Tadi. Kita kan nggak usah buru-buru nih. Di rumah Bu Tadi juga
kosong. Kita cari makan dulu yaa. Mauu yaa bu, mau yaa”, ajakku dengan
penuh kekhawatiran jangan-jangan dia menolak.
“Tapi nanti kemaleman lo Dik”, jawabnya.
“Aah, baru jam tujuh. Mau ya Buu”, aku sedikit memaksa.
“Yaa gimana yaa… ya deh terserah Dik Budi. Tapi nggak malam-malam lho.” Bu Tadi setuju. Batinku bersorak.
Kami berehenti di warung bakmi yang terkenal. Sambil makan kami terus mengobrol. Jeratku semakin aku persempit.
“Eeh, aku benar-benar tolong dicarikan istri yang kayak Bu Tadi dong Bu.
benar nih. Soalnya begini bu, tapii eeh nanti Bu Tadi marah sama saya.
Nggak usaah aku katakan saja deh”, kubuat Bu Tadi penasaran.
“Emangnya kenapa siih.” Bu tadi memandangku penuh tanda tanya.
“Tapi janji nggak marah lho.” kataku memancing. Dia mengangguk kecil.
“Anu bu… tapi janji tidak marah lho yaa.”
“Bu Tadi terus terang aku terobsesi punya istri seperti Bu tadi.
Aku benar-benar bingung dan seperti orang gila kalau memikirkan Bu Tadi.
Aku menyadari ini nggak betul. Bu Tadi kan istri tetanggaku yang harus
aku hormati. Aduuh, maaf, maaf sekali bu. aku sudah kurang ajar sekali”,
kataku menghiba. Bu Tadi melongo, memandangiku. sendoknya tidak terasa
jatuh di piring.
Bunyinya mengagetkan dia, dia tersipu-sipu, tidak berani memandangiku lagi.
Sampai selesai kami jadi berdiam-diaman. Kami berangkat pulang. Dalam
mobil aku berpikir, ini sudah telanjur basah. Katanya laki-laki harus
nekad untuk menaklukkan wanita. Nekad kupegang tangannya dengan tangan
kiriku, sementara tangan kananku memegang setir. Di luar dugaanku, Bu
Tadi balas meremas tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh
kemenangan. Tidak ada kata-kata, batin kami, perasaan kami telah
bertaut. Pikiranku melambung, melayang-layang. Mendadak ada sepeda motor
menyalib mobilku. Aku kaget.
“Awaas! hati-hati!” Bu Tadi menjerit kaget.
“Aduh nyalib kok nekad amat siih”, gerutuku.
“Makanya kalau nyetir jangan macam-macam”, kata Bu tadi. Kami tertawa.
Kami tidak membisu lagi, kami ngomong, ngomong apa saja. Kebekuan cair
sudah. Sampai di rumah aku hanya sampai pintu masuk, aku lalu pamit
pulang.
Di rumah aku mencoba untuk tidur.
Tidak bisa. Nonton siaran TV, tidak nyaman juga. Aku terus membayangkan
Bu Tadi yang sekarang sendirian, hanya ditemani pembantunya yang tua di
kamar belakang. Ada dorongan sangat kuat untuk mendatangi rumah Bu Tadi.
Berani nggaak, berani nggak. Mengapa nggak berani. Entah setan mana
yang mendorongku, tahu-tahu aku sudah keluar rumah. Aku mendatangi kamar
Bu Tadi. Dengan berdebar-debar, aku ketok pelan-pelan kaca nakonya,
“Buu Tadi, aku Budi”, kataku lirih.
Terdengar gemerisik tempat tidur, lalu sepi. Mungkin Bu Tadi bangun dan
takut. Bisa juga mengira aku maling. “Aku Budi”, kataku lirih. Terdengar
gemerisik. Kain korden terbuka sedikit. Nako terbuka sedikit. “Lewat
belakang!” kata Bu Tadi. Aku menuju ke belakang ke pintu dapur. Pintu
terbuka, aku masuk, pintu tertutup kembali. Aku nggak tahan lagi, Bu
Tadi aku peluk erat-erat, kuciumi pipinya, hidungnya, bibirnya dengan
lembut dan mesra, penuh kerinduan. Bu Tadi membalas memelukku, wajahnya
disusupkan ke dadaku.
“Aku nggak bisa tidur”, bisikku.
“Aku juga”, katanya sambil memelukku erat-erat.
Dia melepaskan pelukannya. Aku dibimbingnya masuk ke kamar tidurnya.
Kami berpelukan lagi, berciuman lagi dengan lebih bernafsu. “Buu, aku
kangen bangeeet. Aku kangen”, bisikku sambil terus menciumi dan membelai
punggungnya. Nafsu kami semakin menggelora. Aku ditariknya ke tempat
tidur.
Bu Tadi membaringkan dirinya. Tanganku menyusup ke buah dadanya yang
besar dan empuk, aduuh nikmat sekali, kuelus buah dadanya dengan lembut,
kuremas pelan-pelan. Bu Tadi menyingkapkan dasternya ke atas, dia tidak
memakai BH. Aduh buah dadanya kelihatan putih dan menggung.
Aku nggak tahan lagi, kuciumi, kukulum pentilnya, kubenamkan wajahku di
kedua buah dadanya, sampai aku nggak bisa bernapas. Sementara tanganku
merogoh kemaluannya yang berbulu tebal. Celana dalamnya kupelorotkan,
dan Bu Tadi meneruskan ke bawah sampai terlepas dari kakinya.
Dengan sigap aku melepaskan sarung dan celana dalamku. Penisku langsung
tegang tegak menantang. Bu Tadi segera menggenggamnya dan dikocok-kocok
pelan dari ujung penisku ke pangkal pahaku. Aduuh, rasanya geli dan
nikmat sekali. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku naiki tubuh Bu Tadi,
bertelekan pada sikut dan dengkulku.
Kaki Bu Tadi dikangkangkannya lebar-lebar, penisku dibimbingnya masuk ke
liang vaginanya yang sudah basah. Digesek-gesekannya di bibir
kemaluannya, makin lama semakin basah, kepala penisku masuk, semakin
dalam, semakin… dan akhirnya blees, masuk semuanya ke dalam kemaluan Bu
Tadi. Aku turun-naik pelan-pelan dengan teratur. Aduuh, nikmat sekali.
Penisku dijepit kemaluan Bu Tadi yang sempit dan licin. Makin cepat
kucoblos, keluar-masuk, turun-naik dengan penuh nafsu. “Aduuh, Dik Budi,
Dik Budii… enaak sekali, yang cepaat.. teruus”, bisik Bu Tadi sambil
mendesis-desis. Kupercepat lagi. Suaranya vagina Bu Tadi
kecepak-kecepok, menambah semangatku. “Dik Budiii aku mau muncaak…
muncaak, teruus… teruus”, Aku juga sudah mau keluar.
Aku percepat, dan penisku merasa akan keluar. Kubenamkan dalam-dalam ke
dalam vagina Bu Tadi sampai amblaas. Pangkal penisku berdenyut-denyut,
spermaku muncrat-muncrat di dalam vagina Bu Tadi. Kami berangkulan
kuat-kuat, napas kami berhenti. Saking nikmatnya dalam beberapa detik
nyawaku melayang entah kemana. Selesailah sudah. Kerinduanku tercurah
sudah, aku merasa lemas sekali tetapi puas sekali.
Kucabut penisku, dan berbaring di sisinya. Kami berpelukan, mengatur
napas kami. Tiada kata-kata yang terucapkan, ciuman dan belaian kami
yang berbicara.
“Dik Budi, aku curiga, salah satu dari kami mandul. Kalau aku subur, aku
harap aku bisa hamil dari spermamu. Nanti kalau jadi aku kasih tahu.
Yang tahu bapaknya anakku kan hanya aku sendiri kan. Dengan siapa aku
membuat anak”, katanya sambil mencubitku. Malam itu pertama kali aku
menyetubuhi Bu Tadi tetanggaku. Beberapa kali kami berhubungan sampai
aku kimpoi dengan wanita lain. Bu Tadi walaupun cemburu tapi dapat
memakluminya.
Keluarga Pak tadi sampai saat ini hanya mempunyai satu anak perempuan
yang cantik. Apabila di kedepankan, Bu Tadi sering menciumi anak itu,
sementara matanya melirikku dan tersenyum-senyum manis. Tetanggaku pada
meledek Bu Tadi, mungkin waktu hamil Bu Tadi benci sekali sama aku.
Karena anaknya yang cantik itu mempunyai mata, pipi, hidung, dan bibir yang persis seperti mata, pipi, hidung, dan bibirku.
Seperti telah anda ketahui hubunganku dengan Bu Tadi istri tetanggaku
yang cantik itu tetap berlanjut sampai kini, walaupun aku telah berumah
tangga. Namun dalam perkimpoianku yang sudah berjalan dua tahun lebih,
kami belum dikaruniai anak. Istriku tidak hamil-hamil juga walaupun
penisku kutojoskan ke vagina istriku siang malam dengan penuh semangat.
Kebetulan istriku juga mempunyai nafsu seks yang besar. Baru disentuh
saja nafsunya sudah naik.
Biasanya dia lalu melorotkan celana dalamnya, menyingkap pakaian serta
mengangkangkan pahanya agar vaginanya yang tebal bulunya itu segera
digarap. Di mana saja, di kursi tamu, di dapur, di kamar mandi, apalagi
di tempat tidur, kalau sudah nafsu, ya aku masukkan saja penisku ke
vaginanya. Istriku juga dengan penuh gairah menerima coblosanku. Aku
sendiri terus terang setiap saat melihat istriku selalu nafsu saja deh.
Memang istriku benar-benar membuat hidupku penuh semangat dan gairah.
Tetapi karena istriku tidak hamil-hamil juga aku jadi agak kawatir.
Kalau mandul, jelas aku tidak. Karena sudah terbukti Bu Tadi hamil, dan
anakku yang cantik itu sekarang menjadi anak kesayangan keluarga Pak
Tadi. Apakah istriku yang mandul? Kalau melihat fisik serta haidnya yang
teratur, aku yakin istriku subur juga. Apakah aku kena hukuman karena
aku selingkuh dengan Bu Tadi? aah, mosok. Nggak mungkin itu. Apakah
karena dosa? Waah, mestinya ya memang dosa besar. Tapi karena
menyetubuhi Bu Tadi itu enak dan nikmat, apalagi dia juga senang, maka
hubungan gelap itu perlu diteruskan, dipelihara, dan dilestarikan.
Untuk mengatur perselingkuhanku dengan Bu Tadi, kami sepakat dengan
membuat kode khusus yang hanya diketahui kami berdua. Apabila Pak Tadi
tidak ada di rumah dan benar-benar aman, Bu Tadi memadamkan lampu di
sumur belakang rumahnya.
Biasanya lampu 5 watt itu menyala sepanjang malam, namun kalau pada
pukul 20.00 lampu itu padam, berarti keadaan aman dan aku dapat
mengunjungi Bu Tadi. (Anda dapat meniru caraku yang sederhana ini.
Gratis tanpa bayar pulsa telepon yang makin mahal). Karena dari samping
rumahku dapat terlihat belakang rumah Bu Tadi, dengan mudah aku dapat
menangkap tanda tersebut. Tetapi pernah tanda itu tidak ada sampai 1
atau 2 bulan, bahkan 3 bulan. Aku kadang-kadang jadi agak jengkel dan
frustasi (karena kangen) dan aku mengira juga Bu Tadi sudah bosan
denganku.
Tetapi ternyata memang kesempatan itu benar-benar tidak ada, sehingga tidak aman untuk bertemu.
Pada suatu hari aku berpapasan dengan Bu Tadi di jalan dan seperti
biasanya kami saling menyapa baik-baik. Sebelum melanjutkan
perjalanannya, dia berkata, “Dik Budi, besok malam minggu ada keperluan
nggak?”
“Kayaknya sih nggak ada acara kemana-mana. Emangnya ada apa?” jawabku
dengan penuh harapan karena sudah hampir satu bulan kami tidak
bermesraan.
“Nanti ke rumah yaa!” katanya dengan tersenyum malu-malu.
“Emangnya Pak Tadi nggak ada?” kataku. Dia tidak menjawab, cuma
tersenyum manis dan pergi meneruskan perjalanannya. Walaupun sudah
biasa, darahku pun berdesir juga membayangkan pertemuanku malam minggu
nanti.
Seperti biasa malam minggu adalah giliran ronda malamku. Istriku sudah
tahu itu, sehingga tidak menaruh curiga atau bertanya apa-apa kalau
pergi keluar malam itu. Aku sudah bersiap untuk menemui Bu Tadi. Aku
hanya memakai sarung, (tidak memakai celana dalam) dan kaos lengan
panjang biar agak hangat. Dan memang kalau tidur aku tidak pernah pakai
celana dalam tetapi hanya memakai sarung saja. Rasanya lebih rileks dan
tidak sumpek, serta penisnya biar mendapat udara yang cukup setelah
seharian dipepes dalam celana dalam yang ketat.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Lampu belakang rumah Bu Tadi sudah padam
dari tadi. Aku berjalan memutar dulu untuk melihat situasi apakah sudah
benar-benar sepi dan aman. Setelah yakin aman, aku menuju ke samping
rumah Bu Tadi. Aku ketok kaca nako kamarnya. Tanpa menunggu jawaban, aku
langsung menuju ke pintu belakang. Tidak berapa lama terdengar kunci
dibuka. Pelan pintu terbuka dan aku masuk ke dalam. Pintu ditutup
kembali.
Aku berjalan beriringan mengikuti Bu Tadi masuk ke kamar tidurnya.
Setelah pintu ditutup kembali, kami langsung berpelukan dan berciuman
untuk menyalurkan kerinduan kami. Kami sangat menikmati kemesraan itu,
karena memang sudah hampir satu bulan kami tidak mempunyai kesempatan
untuk melakukannya. Setelah itu, Bu Tadi mendorongku, tangannya di
pinggangku, dan tanganku berada di pundaknya. Kami berpandangan mesra,
Bu tadi tersenyum manis dan memelukku kembali erat-erat. Kepalanya
disandarkan di dadaku.
“Paa, sudah lama kita nggak begini”, katanya lirih. Bu Tadi sekarang
kalau sedang bermesraan atau bersetubuh memanggilku Papa. Demikian juga
aku selalu membisikkan dan menyebutnya Mama kepadanya. Nampaknya Bu Tadi
menghayati betul bahwa Nia, anaknya yang cantik itu bikinan kami
berdua.
“Pak Tadi sedang kemana sih maa”, tanyaku.
“Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran. Aku sengaja nggak ikut
dan hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya baru besok sore”,
katanya sambil terus mendekapku.
“Maa, aku mau ngomong nih”, kataku sambil duduk bersanding di tempat tidur. Bu Tadi diam saja dan memandangku penuh tanda tanya.
“Maa, sudah dua tahun lebih aku berumah tangga, tetapi istriku belum
hamil-hamil juga. Kamu tahu, mustinya secara fisik, kami tidak ada
masalah. Aku jelas bisa bikin anak, buktinya sudah ada kan. Aku nggak
tahu kenapa kok belum jadi juga. Padahal bikinnya tidak pernah berhenti,
siang malam”, kataku agak melucu. Bu Tadi memandangku.
“Pa, aku harus berbuat apa untuk membantumu. Kalau aku hamil lagi, aku
yakin suamiku tidak akan mengijinkan adiknya Nia kamu minta menjadi anak
angkatmu. Toh anak kami kan baru dua orang nantinya, dan pasti suamiku
akan sayang sekali. Untukku sih memang seharusnya bapaknya sendiri yang
mengurusnya. Tidak seperti sekarang, keenakan dia. Cuma bikin doang,
giliran sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus”, katanya sambil
merenggut manja. Aku tersenyum kecut.
“Jangan-jangan ini hukuman buatku ya maa, Aku dihukum tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa”, kataku.
“Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja. Spermamu belum pas
ketemu sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan depan
berhasil”, katanya menghiburku.
“Ya mudah-mudahan. Tolong didoain yaa…”
“Enak saja. Didoain? Mustinya aku kan nggak rela Papa menyetubuhi Rina
istrimu itu. Mustinya Papa kan punyaku sendiri, aku monopoli. Nggak
boleh punya Papa masuk ke perempuan lain kan. Kok malah minta didoain.
Gimana siih”, katanya manja dan sambil memelukku erat-erat. Benar juga,
mestinya kami ini jadi suami-istri, dan Nia itu anak kami.
“Maa, kalau kita ngomong-ngomong seperti ini, jadinya nafsunya malah
jadi menurun lho. Jangan-jangan nggak jadi main nih”, kataku menggoda.
“Iiih, dasar”, katanya sambil mencubit pahaku kuat-kuat.
“Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap doong!” katanya manja.
Kami berpelukan dan berciuman lagi. Tentu saja kami tidak puas hanya
berciuman dan berpelukan saja. Kutidurkan dia di tempat tidur,
kutelentangkan. Bu Tadi mandah saja. Pasrah saja mau diapain. Dia
memakai daster dengan kancing yang berderet dari atas ke bawah. Kubuka
kancing dasternya satu per satu mulai dari dada terus ke bawah.
Kusibakkan ke kanan dan ke kiri bajunya yang sudah lepas kancingnya itu.
Menyembullah buah dadanya yang putih menggunung (dia sudah tidak pakai
BH). Celana dalam warna putih yang menutupi vaginanya yang nyempluk itu
aku pelorotkan.
Aku benar-benar menikmati keindahan tubuh istri gelapku ini. Saat satu
kakinya ditekuk untuk melepaskan celana dalamnya, gerakan kakinya yang
indah, vaginanya yang agak terbuka, aduh pemandangan itu sungguh indah.
Benar-benar membuatku menelan ludah. Wajah yang ayu,buah dada yang putih
menggunung, perut yang langsing, vagina yang nyempluk dan agak terbuka,
kaki yang indah agak mengangkang, sungguh mempesona. Aku tidak tahan
lagi. Aku lempar sarungku dan kaosku entah jatuh dimana. Aku segera naik
di atas tubuh Bu Tadi. Kugumuli dia dengan penuh nafsu. Aku tidak
peduli Bu Tadi megap-megap keberatan aku tindih sepenuhnya. Habis gemes
banget, nafsu banget sih.
“Uugh jangan nekad tho. Berat nih”, keluh Bu Tadi.
Aku bertelekan pada telapak tanganku dan dengkulku. Penisku yang sudah
tegang banget aku paskan ke vaginanya. Terampil tangan Bu Tadi
memegangnya dan dituntunnya ke lubang vaginanya yang sudah basah. Tidak
ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam vaginanya. Dengan penuh
semangat kukocok vagina Bu Tadi dengan penisku. Bu Tadi semakin naik,
menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih. Semakin lama semakin
cepat, semakin naik, naik, naik ke puncak.
“Teruuus, teruus paa.. sshh… ssh…” bisik Bu Tadi
“Maa, aku juga sudah mau… keluaarr”,
“Yang dalam paa… yang dalamm. Keluarin di dalaam Paa… Paa… Adduuh Paa
nikmat banget Paa…, ouuch..”, jeritnya lirih yang merangkulku kuat-kuat.
Kutekan dalam-dalam penisku ke vaginanyanya. Croot, cruuut, crruut,
keluarlah spermaku di dalam rahim istri gelapku ini. Napasku seperti
terputus. Kenikmatan luar biasa menjalar kesuluruh tubuhku. Bu Tadi
menggigit pundakku. Dia juga sudah mencapai puncak. Beberapa detik dia
aku tindih dan dia merangkul kuat-kuat.
Akhirnya rangkulannya terlepas. Kuangkat tubuhku. Penisku masih di
dalam, aku gerakkan pelan-pelan, aduh geli dan ngilu sekali sampai
tulang sumsum. Vaginanya licin sekali penuh spermaku. Kucabut penisku
dan aku terguling di samping Bu Tadi. Bu Tadi miring menghadapku dan
tangannya diletakkan di atas perutku. Dia berbisik, “Paa, Nia sudah
cukup besar untuk punya adik. Mudah-mudahan kali ini langsung jadi ya
paa.
Aku ingin dia seorang laki-laki. Sebelum Papa tadi mengeluh Rina belum
hamil, aku memang sudah berniat untuk membuatkan Nia seorang adik.
Sekalian untuk test apakah Papa masih joos apa tidak. Kalau aku hamil
lagi berarti Papa masih joosss. Kalau nanti pengin menggendong anak, ya
gendong saja Nia sama adiknya yang baru saja dibuat ini.” Dia tersenyum
manis. Aku diam saja. menerawang jauh, alangkah nikmatnya bisa
menggendong anak-anakku.
Malam itu aku bersetubuh lagi. Sungguh penuh cinta kasih, penuh
kemesraan. Kami tuntaskan kerinduan dan cinta kasih kami malam itu. Dan
aku menunggu dengan harap-harap cemas, jadikah anakku yang kedua di
rahim istri gelapku ini?